Transisi dari ekonomi berbasis komoditi, menjadi berbasis digital kreatif, membuka peluang semakin banyaknya technopreneurs dari lintas negara. Ketika mereka masih berupaya membangkitkan bisnisnya, kebanyakan technopreneurs tidak memliki kantor. Bekerja remote menjadi pilihan generasi milenial ini. Meskipun begitu, mereka tetap bisa mekakukan akses kemana saja dari mana saja. Fakta bahwa technopreneurs tidak memiki tempat kerja yang fix, membuat mereka mendapatkan julukan digital nomads.
Digital nomads kini muncul di seluruh belahan dunia, termasuk juga Indonesia, berkembang sejajar dengan kebangkitan ekonomi digital. Seperti dilansir dari The Jakarta Post, di Indonesia setidaknya ada dua kota di luar Jakarta, yang menjadi jujugan para digital nomads, sebagai pusat ekonomi digital: Bali dan Yogyakarta.
Yogyakarta dan Bali juga bisa menjadi tempat alternatif yang menarik untuk bekerja dan tinggal, bagi para technopreneurs yang sudah letih dengan kehidupan Jakarta yang sangat padat, khususnya di lalu lintasnya.
Kedua tempat ini, menawarkan keelokan dan ketenangan di alamnya, yang selama ini dikenal sebagai destinasi wisata. Yogyakarta, sangat dekat dengan Prambanan dan Borobudur, dua candi yang menjadi ikon Indonesia. Sementara Bali, sudah tak perlu diragukan lagi. Ia adalah surga pantai dan kuliner. Hal inilah, yang membuat keduanya jadi destinasi pas bagi digital nomads muda, yang mempunyai misi tetap bisa fokus bekerja, sembali menikmati hidup dan liburan.
Banyak orang yang sudah jenuh dengan kebisingan Jakarta, namun mereka sulit untuk keluar dari Ibu Kota Indonesia ini, karena banyaknya kantor pusat dari perusahaan – perusahaan besar yang ada di sana. Namun para digital nomads muda, tidak terlalu menyoalkan hal tersebut, dan bebas memilih lokasi kerja dan hidupnya, seperti di Bali atau Yogyakarta. Karena mereka mengembangkan bisnis mereka sendiri, tanpa bergantung dengan kantor lain.
Pendapat ini rupanya juga didukung oleh Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), dilansir dari situs resminya, BEKRAF menyebut bahwa Yogyakarta punya berbagai fasilitas yang mampu menunjang sebagai pusat ekonomi digital di Indonesia, disamping Jakarta.
Bali dan Yogyakarta Jadi Pilihan masuk akal
Banyaknya talenta digital kreatif di Kota Gudeg ini, termasuk berkembangnya komunitas digital, dan semakin tumbuhnya inkubator bisnis dan akselelator, jadi faktor utama yang dikemukakan BEKRAF. Hal yang sama juga terjadi di Bali.
Sangat masuk akal jika Yogyakarta bisa tumbuh menjadi pusat ekonomi digital baru. Karena begitu banyak pemuda – pemudi yang menyelesaikan sekolah/ kuliahnya di sini, dimana, mereka juga banyak yang mencoba mengembangkan bisnis digitalnya.
Berdasar data 2018, dari lembaga riset salah universitas di Yogya, bahwa lebih dari 220 ribu orang berkuliah di berbagai universitas swasta yang ada di Yogyakarta. Jika ditambah dari universitas negeri yang ada di sana, maka jumlah mahasiswanya bisa mencapai lebih dari 350 ribu orang.
Lebih jauh lagi, Yogyakarta dan Bali juga dikenal sebagai destinasi wisata utama di Indonesia. Begitu banyak hostel yang bagus dan berkualitas, menjanjikan kuliner dan hiburan di berbagai sudut kota. Hal ini juga membuka lebih banyak lagi peluang bisnis, baik bagi freelancer ataupun enterpreneurs untuk bisa berkolaborasi, demi meningkatkan potensi wisata lokal, lewat kemampuan digital mereka.
Untuk Yogyakarta sendiri, kota ini dikenal dengan budaya dan intelektualitasnya. Kebanyakan digital enterpreneurs di sini, berfokus pada aplikasi dan games. Sementara di Bali, para technopreneurs memilih untuk menitik beratkan pekerjaan mereka kepada pariwisata dan juga jasa pelayanan, seperti dilaporkan oleh Antara sebelumnya.
Bali mempunyai nuansa budaya yang sangat unik, beriring dengan keindahan alam, yang membuatnya jadi opsi pas bagi para digital nomads, yang ingin fokus bekerja, sembari menikmati liburan. Bagi banyak pelaku digital kreatif, Bali menawarkan suasana yang sangat tepat bagi mereka untuk bisa terus mendapatkan inspirasi baru bagi tiap pekerjaannya.
Bali juga memiliki begitu banyak coworking space, yang bertebaran di berbagai wilayah di daerah yang kerap dikenal sebagai Pulau Dewata ini. Khususnya seperti di Ubud, Canggu, Seminyak, Kuta dan Gianyar. Di sanalah biasanya para digital nomads berkumpul dan bekerja.
Secara umum, tren digital nomad ini akan terus berkembang. Pada 2020, diperkirakan perusahaan software akan meluas dan mencapai puncak kejayaannya. Dimana, akan lebih banyak orang yang bekerja sebagai freelancers, dibandingkan dengan full-time workers bagi sebuah perusahaan. Setidaknya diperkirakan 43 persen pekerja sebuah perusahaan akan berstatus freelance.
Pertumbuhan ini, memberikan gambaran nyata, bahwa gig economy, membuka lebih banyak peluang untuk bisnis, secara menglobal, membuat banyak talenta lebih mudah meraih uang, dan menikmati hidup mereka.
Siap mencoba bekerja dari rumah?
Jika anda, salah satu yang masih mencoba mengembangkan bisnis startup anda, maka seharusnya anda mulai berpikir, bahwa bekerja dari rumah, adalah pilihan terbaik bagi anda. Menyewa gedung, atau kantor, tentu membutuhkan banyak usaha: seperti karyawan, pemeliharaan gedung, dan semua berujung pada penggemukan anggaran.
Disamping, bekerja dari rumah juga tidak akan membuat anda mengeluarkan tenaga dan uang untuk transportasi dan konsumsi tambahan. Bagi sebagian orang, bekerja dari rumah membuat mereka lebih nyaman, dan pikiran mereka pun bisa selalu fresh.
Bekerja dari rumah, bagaimanapun juga punya keterbatasan dan kekurangan. Pertama, anda tidak akan bisa bersosialisasi dan berinteraksi langsung dengan rekan kerja, dimana pada momen tertentu akan membuat anda merasa kesepian.
Ketika anda jarang bekerja bersama orang lain, bisa jadi anda akan melewatkan banyak kesempatan bisnis, yang bisa datang, dari bersosialisasi. jadi bagaimana, anda akan menempatkan diri anda sebagai pekerja kantoran regular, atau digital nomad?
Daftar Istilah:
Technopreneurs: Pengusaha di bidang teknologi informasi
Digital nomad: Pelaku usaha/ freelancer di bidang teknologi yang bekerja tanpa kantor
Coworking space: Tempat/ ruang kerja bersama
Gig Economy: ekonomi yang bergantung pada pekerja freelancer/ kontrak sementara