Akhir – akhir ini ada fenomena menyedihkan terkait dengan industri ritel. Dimana banyak diantara mereka yang mulai menutup gerai atau tokonya. Seperti Hero Group, MAP, Matajari, Lotus Debenhams dan GAP. Banyak pendapat yang menuding mulai berkembangnya ekonomi kreatif, melalui e-commerce jadi penyebabnya. Benarkah demikian?
Dilansir dari liputan6.com, ahli ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara, menyebut bisnis ritel memang mengalami kemunduran. Namun hal ini lebih disebabkan oleh konsumsi belanja rumah tangga, dan daya beli melemah yang sudah terjadi sejak 2018 yang lalu
“Akan berlanjut gelombang penutupan retail selama konsumsi rumah tangga dan daya beli melemah. Kondisi makro ini mulai pulih tapi sangat lambat,” terangnya.
Ia pun menampik, jika runtuhnya industri ritel ini disebabkan perkembangan industri penjualan melalui daring, atau e-commerce. Sebab hingga saat ini sangat minim pelaku industri ritel yang menggunakan model daring, yaitu hanya di angka 1-2 persen saja.
“Kalau ada yang bilang karena shifting ke e-commerce itu tidak pas. Porsi e-commerce baru kecil, sekitar 1-2 persen dari total ritel,” tegasnya.
Ditambahkan pula oleh Bhima, bahwa pasar dan barang yang dijual oleh ecommerce sangat berbeda dengan industri ritel yang kini mengalami kelesuan. Dimana e-commerce lebih banyak ‘bermain’ di lini fesyen, sedangkan ritel yang sulit bersaing berada di pasar kebutuhan rumah tangga sehari – hari. Sehingga sangat tidak tepat jika menyalahkan e-commerce, dibalik fenomena ini.
“Barang yang dijual di e-commerce 70 persen lebih adalah fashion. Sementara yang dijual di supermarket adalah Fast Moving Consumer Good (FMCG). Jadi market-nya pun berbeda,” tutupnya.