Indiekraf.com – Dunia bisnis rintisan atau dikenal dengan startup di Indonesia tengah menghadapi bagai. Sejumlah startup Tanah Air melakukan PHK massal, seperti Zenius, Tanihub hingga sekelas Netflix. Hal ini juga dikenal dengan istilah bubble burst.
Fenomena ini pun mendapat sorotan dari Direktur Digital Business Telkom Muhammad Fajrin Rasyid, yang juga merupakan mantan co-founder dan Presiden dari Bukalapak.
Seperti dilansir dari CNBC Indonesia, Fajrin melihat fenomena ini adalah sebuah situasi dimana startup mengalami kesuksesan, namun tetiba langsung drop atau terhenti.
Hanya saja Fajrin juga berpendapat, bahwa bubble burst ini menimbulkan persepsi baru untuk masyarakat, khususnya generasi muda. Yaitu, apakah kini industri startup ‘tidak aman’ bagi para fresh graduate?
Lalu bagaimana cara mengembalikan semangat entrepreneurship bagi anak muda agar tak lesu ketika fenomena seperti ini muncul dan terus maju mengembangkan usahanya?
Berikut adalah sejumlah tips dari Fajrin bagi para pelaku startup di Tanah Air, untuk bisa bertahan dan berkembang.
Startup Selalu Penuh Risiko
Pertama, kata Fajrin, startup memang memiliki risiko. Perlu diingat bahwa memang industri startup memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan industri.
Bahkan, salah satu definisi startup yang cukup banyak digunakan orang adalah entitas atau organisasi yang dirancang untuk mencari model bisnis yang mampu diperbesar secara terus menerus (repeatable dan scalable).
Banyak startup yang kemudian tutup atau gagal sebelum menemukan model bisnis tersebut. Namun sebaliknya, startup yang berhasil biasanya tumbuh menjadi perusahaan berskala besar dalam waktu relatif singkat (di bawah 10 tahun).
Pengalaman di Semua Bidang
Kedua, pengalaman yang beragam. Bekerja di startup biasanya memungkinkan untuk mempelajari berbagai aspek dari perusahaan secara luas.
“Sebagai contoh, selama kurang dari 10 tahun saya di Bukalapak, saya sempat menggeluti bidang keuangan, hubungan investor, pemasaran, penjualan, hukum, hubungan pemerintah, dan lain-lain,” tulis Fajrin dalam kolom di Uzone.
Lalu, apakah sebaiknya fresh graduate tidak bekerja di startup?
Sebaliknya, menurut Fajrin bekerja di startup merupakan salah satu bidang yang sangat potensial.
“Jack Ma pernah berkata, sebelum usia 30 tahun, yang penting adalah siapa bos kita, yang memimpin dan mengajari kita,” tuturnya.
Selalu Relevan
Ketiga, pengembangan kemampuan. Tidak boleh dilupakan bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan, jangan lupa untuk terus mengasah kemampuan yang kita miliki. Dunia digital telah membuat perubahan terjadi begitu cepat, baik di industri startup maupun industri lainnya.
Sebagai contoh, 10 tahun lalu teknologi banyak berkutat dengan desktop. Saat ini, teknologi banyak berkutat dengan mobile. Namun, mungkin saja ke depan, teknologi akan beralih baik ke metaverse, Web3, maupun teknologi lainnya. Kita mesti terus mengembangkan kemampuan agar relevan dengan perkembangan zaman tersebut.
Startup Terbaik Punya Fundamental Kuat
Keempat, kembali kepada fundamental. Bagi fresh graduate yang ingin mengembangkan startup, ini merupakan momen untuk mengingat kembali bahwa startup yang baik diciptakan untuk menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat, bukan untuk menjadi sarana agar cepat kaya.
Ciri-ciri startup yang baik di antaranya memiliki rencana untuk menghasilkan model bisnis yang kuat, bukan sekadar ingin mencapai valuasi tinggi.
“Dengan seperti ini, saya yakin startup tersebut akan dapat bertahan pada masa sekarang,” ungkapnya.
Baru-baru ini dia berbincang dengan salah satu startup yang melakukan layoff. Mereka menyampaikan bahwa mayoritas talenta yang terkena layoff tersebut langsung diterima oleh pasar.
“Hal inilah yang terjadi apabila kita fokus mengembangkan diri kita. Stay hungry, stay foolish.” tutup tulisan Fajrin.