Indiekraf.com – Film dokumenter ‘You and I’ dari Indonesia berhasil terpilih sebagai film terbaik dalam acara DMZ International Documentary Film Festival tahun 2020. Film besutan Fanny Chotimah meraih ‘The Asian Prespective Award’ yang merupakan anugrah tertinggi dalam kompetisi tersebut.
Dalam postingan di akun instagram pribadinya (@fanny_cho), Fanny menceritakan tanggapan dewan juri yang memuji karyanya.
“Film ini sensitif, tulus dan jujur. Pembuat film ini mempertahankan jarak yang tepat antara observasi dan pengawasan, antara hormat dan penasaran, dan film tersebut secara perlahan menemukan makna yang lebih dalam mengenai hubungan antara kedua wanita tersebut. Menyentuh dan mendalam tanpa memaksakan diri pada subyek anda dan saya, film ini menunjukan kekuatan humanis yang luar biasa dari genre dokumenter.”
Baca juga 10 Film Original Netflix Terbaik Sepanjang Masa
Sayangnya, kebahagiaan setelah menerima penghargaan tersebut juga datang bersamaan dengan kesedihan. Dikutip dari voaindonesia.com, Fanny mengatakan sangat senang bisa mendapatkan penghargaan tersebut, namun Ia sedih karena tidak bisa membagikan kebahagiaan itu dengan Kaminah dan Kusdalini.
“Mereka tidak bisa menyaksikan film ini karena sudah damai di sana. Kusdalini meninggal pada 2017, Kaminah setahun kemudian. Film ini sebenarnya sekaligus menjadi dokumentasi terakhir kehidupan mereka,” ujar Fanny.
https://www.youtube.com/watch?v=KB8RL3aMvRM
Baca juga 5 Film Reza Rahardian Yang Diangkat Dari Kisah Nyata
Film dokumenter ‘You and I’ menceritakan tentang perjalanan dua mantan narapidana politik, Kaminah dan Kusdalini. Mereka bertemu di penjara sekitar setengah abad yang lalu dan setelah keluar dari penjara, mereka memutuskan untuk hidup bersama hingga tua di Solo, Jawa Tengah.
“Kedua perempuan ini bertemu di penjara ketika masih muda, pada tahun 1965. Setelah keluar dari penjara Kaminah ditolak kembali ke keluarga karena stigma terhadap keputusan politiknya dan akhirnya ia tinggal bersama Kusdalini. Keduanya tidak pernah menikah karena begitu kuatnya stigma mantan tapol. Mereka juga tidak bisa melanjutkan sekolah dan tidak bisa bekerja. Untuk bertahan hidup mereka membuka warung, jualan soto, melayani catering, dan menghabiskan hari tua bersama dengan berjualan kerupuk,” jelas Fanny kepada tim VOA Indonesia.
“Selain menunjukkan langsung kehidupan mereka, saya ingin mengirim pesan kepada penonton tentang dampak stigmatisasi, dari hal sederhana seperti anggapan tentang ‘perempuan tidak baik’ hingga soal dampak pilihan politik seperti yang dialami Kaminah dan Kusdalini sebagai ‘pilihan politik yang jahat.’,” tambah Fanny.
Penulis: Achmad Faridul Himam
Referensi
[1] Menangkan Anugrah Film Bergengsi, “You and I” Bukan Film Biasa