Indiekraf.com – Bioskop telah menjadi salah satu hiburan yang populer di Indonesia. Digemari oleh berbagai kalangan, bioskop terus mengikuti arus perkembangan sejak adanya layar tancap sampai layanan streaming online yang modern. Yuk baca artikel ini sampai habis untuk menjelajahi perkembangan dan sejarah bioskop dari masa ke masa.
Awal mula bioskop di Indonesia
Sebelum hadir dan berkembang di Indonesia, bioskop dianggap ada pertama kali pada tahun 1895 di Grand Cafe, Paris. Dilansir dari berbagai sumber, pada masa itu kalangan internasional menyepakati bahwa penayangan film kepada masyarakat umum di lokasi tersebut menandai kelahiran film pertama di dunia.
Di Indonesia sendiri, bioskop mulai dikenal pada tahun 1900 di masa penjajahan Belanda. Menurut penelitian dari jurnal Warisan (2023), pada tahun-tahun tersebut awalnya bioskop hanya dapat dinikmati oleh kaum elit dan bangsa Eropa.
Perkembangan bioskop di Indonesia
Masa kolonial Belanda
Bioskop pertama kali masuk ke Batavia (sekarang Jakarta) pada 5 Desember 1900 di Tanah Abang. Pada waktu itu, bioskop selalu ditayangkan di rumah Tuan Scharwz dengan fenomena gambar bergerak, yang pada masa itu disebut Gambar Hidoep oleh masyarakat pribumi.
Selain Tuan Scharwz, ada juga Tuan Talbot yang menampilkan pertunjukan film di daerah Pasar Gambir. Pertunjukan film yang ini dilaksanakan di lapangan terbuka dan selalu berkeliling atau berpindah tempat. Di masa ini, bioskop disebut sebagai misbar (gerimis bubar) atau disebut juga dengan layar tancap.
Di awal keberadaannya, bioskop termasuk media hiburan yang terbilang mahal dan hanya bisa diakses oleh kalangan atas. Beberapa contoh bioskop yang ada di masa itu adalah Elita di Pintu Air dan Globe Bioscope di daerah Pasar Baru yang didominasi oleh kalangan orang kota dan etnis Cina. Sedangkan untuk kalangan menengah dan ke bawah, terdapat bioskop Capitol yang kebanyakan ditonton oleh kaum pribumi.
Pada masa ini, jadwal film di bioskop biasanya diberitakan melalui koran. Menariknya, tiap bioskop akan menayangkan film yang berbeda-beda. Tidak sama dengan bioskop masa kini yang menampilkan film yang sama di beberapa bioskop sesuai waktu rilisnya. Film-film yang ditayangkan merupakan film lokal seperti Old Batavia, Loetoeng Kasaroeng, Si Tjonat, Resia Borobudur, atau film-film Amerika.
Dari bioskop keliling hingga gedung bioskop tetap
Dalam perkembangannya, bioskop yang awalnya berkeliling atau berpindah-pindah tempat mulai diubah menjadi menetap. Bioskop-bioskop mulai didirikan oleh orang Tionghoa, menjadi tempat hiburan populer masyarakat Batavia untuk menikmati film-film terbaru. Pemutaran film yang awalnya didominasi oleh Belanda, mulai diikuti oleh etnis Tionghoa.
Film-film yang diputar zaman dulu cenderung merupakan film tanpa suara. Biasanya film-filmnya diiringi musik orkes atau lainnya. Salah satu contoh film tanpa suara adalah film Charlie Chaplin. Di tahun 1927, mulai dibuat film bersuara pertama kalinya oleh Warner Bross. Pembuatan film bersuara ini menandai revolusi dalam industri film dan bioskop.
Di Indonesia sendiri, film bersuara mulai ada pada tahun 1931 dengan film Loetoeng Kasaroeng, yang menceritakan tentang cerita rakyat Sunda menggunakan bahasa Melayu. Mulai tahun 1951, diresmikan bioskop Metropole di Jakarta yang berkapasitas 1700 tempat duduk, memiliki ventilasi peniup dan penyedot, bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang. Di tahun 1955, bioskop Indra mulai dikembangkan di Yogyakarta yang lengkap dengan toko dan restoran.
Mulai marak di awal Orde Baru
Masa Orde Baru dianggap sebagai masa yang menawarkan kemajuan dalam industri bioskop. Di tahun 1990-an, produksi film meningkat hingga 100 judul lebih. Bahkan sejak tahun 1987 bioskop dengan konsep sinepleks (gedung bioskop dengan lebih dari satu layar) semakin marak.
Pelopor dari bioskop sinepleks adalah yang sekarang dikenal dengan Cineplex 21 Group. Produksi film nasional semakin meningkat dan mencapai ratusan judul per tahun, dan bioskop menjadi tempat hiburan favorit masyarakat. Beberapa film nasional yang populer adalah Tiga Dara (Usmar Ismail), G30S/PKI (Arifin C. Noer), Pengabdi Setan (Sisworo Gautama Putra), Nagabonar (M.T. Risyaf), dan Catatan Si Boy (Nasri Cheppy).
Hingga kini, sinepleks yang masih populer antara lain Blitzmegaplex (sekarang CGV), XXI (sekarang Cinema XXI), Cinemaxx, dan lainnya. Film nasional juga semakin mengalami kemajuan pesat di era sinepleks. Beberapa film nasional yang sukses antara lain: Laskar Pelangi (Riri Riza), Ada Apa Dengan Cinta? (Rudy Soedjarwo), Ayat-ayat Cinta (Hanung Bramantyo), dan Dilan 1990 (Fajar Bustomi).
Layanan streaming modern
Dengan teknologi yang semakin berkembang, menonton film zaman sekarang tidak hanya bisa dilakukan di bioskop. Layanan seperti Netflix, Vidio, dan Prime hadir untuk memenuhi kebutuhan hiburan masyarakat di masa kini. Bila tidak ada waktu untuk mengunjungi bioskop, masyarakat kini bisa menonton film dimana saja dan kapan saja.
Bioskop-bioskop di Malang
Melansir dari berbagai sumber, bioskop yang pertama ada di Malang adalah Bioskop Flora di tahun 1928. Bioskop ini terletak di pusat kota, di persimpangan Jalan KH Agus Salim dan Jalan Zainul Arifin, Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Klojen. Menjadi salah satu tempat hiburan kelas atas, Bioskop Flora dilengkapi dengan beberapa fasilitas pendukung seperti billiard room, barber shop, sampai toko makanan.
Bioskop Flora kemudian berganti nama menjadi Gedung Wijaya Kusuma di masa pasca kemerdekaan, gedung ini berubah menjadi gedung kesenian yang sangat baik di masa itu. Sampai akhirnya di tahun 1990-an berubah fungsi jadi pertokoan.
Dilaporkan oleh tugumalang.id, bioskop lainnya di Malang adalah Bioskop Atrium atau Atrium Theater yang kabarnya dibangun pada tahun 1937. Gedung Bioskop Atrium tersebut berubah menjadi Malang Plaza pada tahun 1985 dan kemudian populer menjadi pusat perdagangan barang dan jasa di Malang.
Selain itu, terdapat beberapa bioskop legend di Malang. Bioskop Rex adalah salah satu bioskopnya. Terletak di Jalan Merdeka Timur (sekarang jadi Bank CIMB), bioskop ini kabarnya pernah dibakar oleh pejuang Indonesia agar keberadaannya tidak dimanfaatkan oleh Belanda. Di tahun 1950-an gedung ini dibangun kembali untuk menjadi bioskop dan sempat mengalami perubahan nama di tahun 1970-an menjadi Bioskop Ria. Bioskop ini dianggap menjadi bioskop untuk kelas menengah di Malang. Hingga di awal tahun 1990-an bioskop ini memudar dan gedungnya telah dibongkar untuk menjadi gedung bank.
Tahun 1952 Roxy Theater hadir sebagai salah satu bioskop di Malang. Letaknya ada di Kayutangan dan sempat berganti nama menjadi Bioskop Merdeka Theater. Akibat dari semakin maraknya Bioskop 21 yang menyajikan film Hollywood terbaru membuat pamor Bioskop Merdeka meredup, hingga akhirnya bioskop ini lambat laun tutup.
Bioskop lainnya yang ada di Malang adalah Bioskop Kelud yang terletak di Jalan Kelud, sebelah SMA Panjura. Bioskop ini mulanya didirikan untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah, dengan konsep misbar (gerimis bubar) atau layar tancap. Uniknya, desain bioskop ini mirip dengan setengah lapangan bola, dimana ada tribun dan lapangan yang di ujungnya terdapat tembok besar sebagai layar. Bioskop Kelud naik daun di tahun 1970-an, bahkan jika penonton tidak mendapat tempat duduk (di tribun), mereka tidak segan untuk duduk di tikar yang sudah dibawa sebelumnya.
Perjalanan panjang bioskop di Indonesia, dari layar tancap hingga era streaming, menunjukkan betapa dinamisnya industri hiburan ini dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Meski bioskop tradisional masih tetap menjadi tempat favorit bagi banyak orang untuk menikmati film, kehadiran layanan streaming telah membawa cara baru dalam menikmati tontonan. Kini, dengan akses yang lebih mudah, film dapat dinikmati kapan saja dan dimana saja. Kalau kamu lebih suka nonton di bioskop atau streaming saja?