Indiekraf.com – Masyarakat Kota Malang diharapkan mau bergerak untuk menangani persoalan banjir. Akademisi bidang hukum Universitas Widyagama, Purnawan Dwikora Negara mengharapkan adanya citizen lawsuit yang ditujukan kepada pemerintah karena belum bisa menangani banjir.
Seruan itu disampaikan Purnawan saat berbicara dalam diskusi publik, kegiatan kolaborasi antara Fakultas Hukum Universias Widyagama dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mengenai bencana ekologi di Kota Malang. Kegiatan berlangsung di Lantai 2, Perpustakaan Universitas Widyagama Malang, Sabtu (20/1/2024).
Menurut Pupung, sapaan akrabnya, pemerintah telah gagal menangani banjir di Kota Malang. Sejumlah pogram yang telah diselenggarakan masih belum mampu menangani banjir. Parahnya lagi, justru sejumlah program yang dianggarkan oleh negara terindikasi potensi korupsi.
“Warga punya hak untuk menanyakan itu semua. Coba lihat banjir bandang di Kota Batu. Banjir yang begitu dahsyat itu, sampai sekarang tidak ada tersangkanya,” ujarnya.
Menurutnya, lingkungan yang aman dan berkesinambungan adalah hak. Namun, banyak terjadi ketimpangan sehingga keseimbangan lingkungan, utamanya di Kota Malang, tidak berfungsi dengan baik. Alhasil, hak-hak masyarakat untuk menikmati lingkungan yang nyaman dan aman tidak tercapai. Banyak kepentingan politik dan ekonomi mendominasi di baliknya.
“Maka perlu ada citizen lawsuit untuk menggugat pemerintah dalam menangani banjir,” terangnya, Sabtu (20/1/2024).
Koordinator Malang Corruption Watch (MCW), Ahmad Adi Susilo menyebut, setiap kali ada pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), selalu menemukan adanya program pengadaan jalan dan drainase. Program-program tersebut erat kaitannya dengan upaya pemerintah menanggulangi banjir.
Namun juga ada potensi terjadinya korupsi di sektor tersebut. Apalagi, cukup sulit untuk mengakses data-data publik berkaitan hal tersebut. Adi berkesimpulan, persoalan banjir yang tidak pernah selesai ini karena masalah lama, yakni persoalan struktural dan administrasi.
“Tidak terbatas hanya faktor administrasi, tapi juga sangat erat kaitannya dengan persoalan struktural. Bagaimana kebijakan negara turut memengaruhi. Ada permasalahan di pengadaan barang dan jasa. Di manapun, BPK selalu menemukan ada pengadaan jalan dan drainase,” ujarnya berdasarkan analisis dari MCW.
Berbicara Kota Malang, menurut Adi, saat ini telah masuk kepentingan pemodal ke dalam kebijakan tata ruang kota. Akhirnya, berdampak pada kondisi lingkungan. Berdasarkan analisis dari MCW, para pemodal yang bermain di kawasan Malang Raya masih dikuasi oleh orang-orang dalam satu kelompok. Menelisik kondisi tersebut, MCW menilai ada potensi korupsi yang sangat kuat.
“Ada potensi korupsi yang memiliki korelasi. Orangnya ya itu-itu saja. Artinya pola-pola permainan dilakukan secara sistematis dan pengawasan dari masyarakat sangat kurang,” katanya.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup, Pradipta Indra Ariono menilai bahwa orang-orang yang memiliki kuasa kebijakan turut memperparah kondisi banjir di Kota Malang maupun Malang Raya. Banjir tidak sekadar akibat curah hujan, tetapi juga karena kebijakan-kebijakan yang tidak mempertimbangkan keseimbangan lingkungan.
“Sejak 2003 Malang selalu mengalami banjir. Intensitas banjir itu yang kemudian harus kita lihat lebih luas. Kalau kita mau membaca lebih banyak, setiap tahun, kota Malang selalu mengalami kenaikan banjir. Angkanya cenderung naik turun. Titik awalnya tidak ada banjir, menjadi ada banjir. Kok makin hari semakin banyak titik genanangan di Kota Malang?” ujarnya.
Walhi mengungkapkan, berdasarkan data yang ia peroleh dari Pemkot Malang, hanya ada 4 persen saja ruang terbuka hijau untuk publik di Kota Malang. 20 persen lainnya adalah ruang terbuka hijau privat. Seharusnya, ruang terbuka hijau untuk publik lebih luas dibanding privat.
Perlu ada kebijakan yang tepat untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Walhi pun mendesak agar pemerintah bisa mengikuti peraturan perundang-undangan mengenai alokasi ruang terbuka hijau, yakni 30 persen.
“Jadi tidak hanya faktor alam, tetapi juga manusia. Di Kota Malang, pemanfaatan tata ruangnya buruk. Ada 4 persen RTH publik, 20 persen RTH privat. Apa yang menjadi hambatan, karena urusan banjir ini tidak sekadar menyalahkan hujan,” terangnya.
Walhi banyak menemukan ada pelanggaran alih fungsi di Kota Malang. Perlu ada pengawasan yang lebih ketat dari masyarakat, dan kesadaran dari pemerintah untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Hal-hal kecil yang berdampak dengan lingkungan tidak bisa dipandang sebagai hal kecil semata, pasalnya, dampaknya bisa sangat besar di kemudian hari.
“Misal taman Malabar, Matos, MOG juga menggusur RTH di Kota Malang. Pada 2011, Pemkot Malang sudah punya komitmen, tapi pada faktanya tidak pernah belajar dari kesalahan administrasi atau jangan-jangan mereka berpihak pada kepentingan ekonomi daripada ekologis,” ungkapnya.
Anggota Divisi Organisasi dan Pendidikan AJI Malang, Badar Risqullah menambahkan, keterbukaan kebijakan dan anggaran mengenai penanganan banjir perlu diperkuat. Hal itu untuk mendukung terpenuhinya pengawasan publik terhadap program-program pemerintah yang menggunakan uang rakyat.
SIMAK JUGA:
Pasca PPKM Industri Kreatif Hantaran di Kediri Mulai Bangkit Kembali
Laut Memanggilku: Film Pendek yang Menang di BIFF
YouTube Originals Tutup Secara Resmi Setelah 6 Tahun!
Pengawasan dianggap penting agar program yang ditujukan untuk menangani banjir betul-betul terlaksana sesuai harapan. Media massa juga memiliki peran penting mewartakan kebijakan dan anggaran kepada publik. Edukasi harus dilakukan berulang kali agar tumbuh kesadaran.
“Jadi jangan sampai ada kesan yang penting ekonomi lancar, pariwisata ramai, lalu selesai. Tidak mikir bencana apa yang akan dialami,” ujarnya.
Badar mengingatkan agar setiap program yang dicanangkan tidak sekadar seremonial semata, namun betul-betul memiliki dampak yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Kali ini, masyarakat Kota Malang berharap besar penanganan banjir betul-betul bisa terlaksana sepenuhnya.