INDIEKRAF.COM – Pihak Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) mengungkap, bahwa hanya di tahun 2019, mereka sudah berhasil memberikan pembinaan kepada hampir 1.300 startup (usaha rintisan). Hal ini memang menjadi penanda, bahwa industri digital Indonesia memang tengah bergerak untuk berkembang. Apalagi hingga saat ini Indonesia sudah memiliki 3 unicorn dan 1 decacorn.
Hanya saja, dibelakang segala gegap gempita tentang industri digital tersebut, rupanya ada hal mengancam yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Simak juga:
Hal tersebut dipaparkan oleh pakar forensik kejahatan teknologi informasi Ruby Alamsyah. Seperti dilansir dari detik.com, Ruby menyebut bahwa saat ini dunia sudah dilanda fenomena kemudahan akses, yang tentu saja membuat kerentanan terjadinya kejahatan digital. Salah satu yang paling mengancam adalah pencurian data, suatu hal yang kini mulai menghinggapi Indonesia.
Karena, menurut Ruby, bagaimanapun sebuah sistem digital pasti memiliki kerentanan dan celah, walaupun secara kontinyu dilakukan update pengamanan.
“Kalau kita lihat secara global, setiap sistem komputer dimanapun pasti memiliki celah keamanan tinggal seberapa besar menjaganya,” kata Ruby.
Dicontohkannya, Negara Adidaya Amerika Serikat, yang sempat mengalami kejadian kebocoran data nasabah, pada sebuah supermarket besar di tiap tahunnya. Bahkan jejaring sosial dengan pengguna terbesar di dunia, Facebook juga pernah mengalami kebocoran data 87 juta pengguna hanya di tahun 2018.
Yang paling baru, pada awal April 2019, UpGuard, sebuah perusahaan keamanan digital siber, mendapatkan temuan perusahaan media online di Mexico, Cultura Colectiva meninggalkan lebih dari 540 juta catatan dan arsip pengguna Facebook di basis data publik yang bisa diakses oleh siapapun.
Bukan cuma Facebook, kerentanan akses keamanan sistem industri digital juga bisa dialami lembaga sebesar Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), yang sudah dikenal dengan sistemnya yang sangat ketat. Belum lama ini, Putra Aji Adhari, seorang siswa berusia 15 tahun dari Indonesia, berhasil menemukan dan menembus celah keamanan di NASA tersebut.
Index Kemanan Siber Indonesia kalah dengan kemajuan industri digitalnya?
Pendapat serupa juga diungkap oleh pakar keamanan siber dari Communication Information System Security Research Center (CISSRec) Pratama Persadha. Dia menyebut, pencurian data adalah ancaman besar industri digital yang harus selalu mendapat perhatian besar.
Salah satunya di tahun 2014, Pratama memberikan contoh, pencurian data besar dialami oleh Sony Pictures. Yang akhirnya membuat nilai saham Sony jatuh, akibat banyaknya data penting yang bocor ke publik. di Tanah Air, data pengguna marketplace juga sempat jatuh ke tangan pihak – pihak
Pada 2014, misalnya, pencurian data dalam jumlah sangat besar terjadi pada Sony Pictures. Akibatnya, nilai saham Sony Pictures turun karena banyak data yang dibuka ke publik. Di Indonesia, data pengguna marketplace juga dicuri pihak tidak bertanggungjawab.
“Dua kejadian tersebut memberikan kita gambaran bahwa semakin ter-digitalisasi kehidupan kita, pengamanan juga wajib ditingkatkan,” kata Pratama.
Negara Estonia, ditambahkan Pratama, mengadakan riset terhadap semua negara di dunia soal tingkat keamanan siber dengan menerbitkan National Cyber Security Index (NCSI). Otoritas Estonia memberikan informasi dan arahan ke negara manapun yang paling aman untuk melakukan investasi, ditinjau dari level keamanan sibernya.
Dilansir dari situs resmi mereka, www.ncsi.ega.ee. Indonesia sendiri masih berada di urutan 105 dari 130 negara yang dinilai rentan keamanan sibernya, dengan total poin 19,48. Tingkat keamanan siber Tanah Air, dinilai masih terlalu tertinggal jauh jika dikomparasi dengan perkembangan industri digitalnya.
Saat ini, Indonesia sendiri mempunya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang memiliki tanggung jawab dalam pengamanan berbagai data di Nusantara.
Pratama menyebut, setidaknya ada lima faktor yang perlu digenjot untuk bisa memastikan kemanan siber dan data industri digital di Indonesia. Yaitu aspek legal, aspek teknis, organisasi, sumber daya manusia dan kerja sama antar negara, antar lembaga.
Di sisi legal, diperlukan undang- undang terkait keamanan siber yang membuat semua pihak wajib meningkatkan keamanan siber masing – masing, dengan standar yang sudah ditetapkan. Adapun UU ITE dinilai belum mencakup hal tersebut.
Soal masalah teknis, kapasitas SDM dan organisasi, semestinya memang sudah bisa diselesaikan dengan keberadaan BSSN. Tapi tentu hal tersebut tidak gampang dilakukan, karena perangkat perundangan pendukungnya belum ada.
Terkait dengan kerja sama, kolaborasi negara dan organisasi, memang wajib mendapat peningkatan kapasitas, karena memang musuh dalam perang siber bukan melulu antar pemerintah negara, tetapi juga melibatkan korporasi internasional, bahkan kelompok, individu serta komunitas.