Selamat Datang di Indiekraf Media - Kunjungi Juga Studio Kami untuk Berkolaborasi lebih Keren :)

Menuju Indiekraf Studio
Desain Komunikasi VisualDigital KreatifFilm Animasi dan VideoInsightOpini KreatifPelaku Kreatif

Ketika Imajinasi Diambil Alih, AI Sekarang Bisa “Niru” Karya Seni Ternama

Ketika Kecanggihan Teknologi Jadi Polemik dalam Dunia Seni, Apakah Batas Kreasi dan Imitasi Makin Mengabur? Gimana dengan Lisensi dan Hak Cipta Kreator Asli?

Indiekraf.com – Beberapa waktu yang lalu sempat ramai berseliweran ilustrasi dengan gaya milik studio anime ternama di internet. Nggak cuma satu-dua aja, banyak warganet lalu ikut meramaikan dan menambah ramai fenomena ini menggunakan teknologi Akal Imitasi (AI) untuk mengubah foto dirinya menjadi serupa anime tersebut. Bahkan sempat muncul juga jasa mengubah foto menjadi ilustrasi anime tersebut dengan harga terjangkau. 

Dengan kecanggihan AI, kini kita bisa dengan mudah membuat gambar dengan gaya-gaya tertentu. Mau “niru” gaya anime Ghibli, kartun The Simpsons, atau animasi Disney, kini nggak butuh waktu lama untuk melakukannya. Nah, keseruan dalam kita “bermain-main” teknologi seperti ini ternyata menyimpan polemik yang tidak bisa diabaikan begitu saja dalam dunia seni. Kemudahan AI dalam “meniru” karya seni tertentu kemudian menimbulkan tanya: apakah ini inovasi baru dalam kreativitas digital? Atau malah bentuk baru dari “eksploitasi” seni tanpa izin? Bahas lebih lanjut, yuk!

AI dan Seni: Kolaborasi atau Kompetisi?

Seperti yang diketahui bersama, kecanggihan teknologi kini semakin mutakhir dengan berbagai fitur yang ditawarkan. AI yang telah berkembang pun dapat dengan mudah melakukan tugas-tugas manusia, mulai dari mengolah data, membuat script, sampai mengenali suara dan menggambar. Ditambah cara kerjanya yang sederhana dan cepat, AI bisa menjadi alat yang membantu meringankan pekerjaan manusia.

Alrgoritma yang dikembangkan oleh AI kini dapat membuat interaksi kita dengan komputer tidak hanya sekadar memerintahkan program saja, melainkan sudah bisa seolah sedang ngobrol dengan rekan. Mau minta AI bikin ilustrasi, kita bisa tinggal mengetik prompt dan AI akan mengerjakannya dengan cepat. Mau edit foto pun, kita bisa tinggal upload foto dan mengubah background-nya menjadi penuh warna dan elemen.

Contoh bagaimana AI bisa mengubah foto menjadi ilustrasi ala Studio Ghibli – Sumber foto: digit.in

Hal tersebut dapat menimbulkan kesan menyenangkan karena AI telah dirancang dan dikembangkan untuk interaksi yang seamless dan bahkan dipersonalisasi untuk pengalaman pengguna yang lebih interaktif. Sehingga seolah-olah kini AI sudah mampu mendampingi kehidupan manusia sehari-harinya. 

Namun, kesan menyenangkan dan keseruan tersebut menimbulkan polemik dalam dunia seni.

Beberapa menganggap bahwa “karya” hasil olah AI sudah bisa menyerupai karya manusia, malah ada beberapa bidang pekerjaan yang disebut-sebut terancam oleh adanya AI karena mudah tergantikan, ada juga yang menganggap bahwa hasil output AI tidak bisa disandingkan dengan karya manusia karena tidak memiliki sense of feeling maupun ekspresi seperti karya kreatif manusia. Nah, jadi timbul pertanyaan, dengan kemudahan dan kecanggihan yang ditawarkan AI, teknologi ini sendiri jadi bentuk kolaborasi atau kompetisi dengan kemampuan manusia, nih? 

Gimana Seniman Memandang AI

Menilik fenomena “meresahkan” yang tak lama ini ramai di jagat media sosial, para seniman pun unjuk suara. Dewan Kesenian Jakarta sempat berkumpul untuk turut membahas fenomena ini.  Beberapa materi yang dibahas dalam pertemuan tersebut meliputi kolonialisasi data, risiko bias, sampai terkait hak cipta.

Saras Dewi, penulis sekaligus dosen filsafat Universitas Indonesia, menyampaikan tentang bagaimana terlepas ia menyukai akal imitasi, masih diperlukan sikap skeptis dan kritis pada teknologi ini. Karena AI dianggap bisa melakukan banyak hal, mesin-mesin itu pun masih penuh dengan bias. Hal tersebut karena teknologi AI ini dibangun atas “pencurian” data.

Kenapa begitu? Karena pada dasarnya sistem kerja AI sendiri sangat berkaitan dengan big data. Dimana output yang dihasilkan oleh teknologi ini pun merupakan proses pengolahan dari kumpulan data-data besar yang sudah ada sebelumnya. Namun, sayangnya belum tentu AI “mengambil” data-data tersebut secara legal karena belum banyak hukum yang secara jelas mengatur tentang ini. Pengguna AI pun belum tentu dapat sepenuhnya mengontrol karya mana yang dipakai oleh mesin AI dalam menghasilkan output baru.

Walaupun begitu, ada juga seniman yang menggunakan AI sebagai alat untuk mengembangkan karyanya. Jemana Murti adalah salah satunya. Ia melihat AI sebagai peluang dan memanfaatkannya untuk membuat karya. Baginya, AI bisa dijadikan sebagai mitra. Tapi, masih saja, keresahan akan AI dapat menggantikan manusia pun masih ada.

Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang digelar oleh Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta Poetry Slam, dan Kongsi 8, Jumat 7 Maret 2025 lalu di Taman Ismail Marzuki – Sumber foto: dkj.or.id

Hayao Miyazaki, pemilik Studio Ghibli, yang fenomenanya baru-baru ini ramai dibicarakan pun, dengan tegas menyampaikan bahwa ia “jijik” dengan teknologi ini. Seperti yang dikatakannya pada potongan video yang viral di media sosial, “..I am utterly disgusted”. Ia sendiri pun tidak mau menggunakan AI dalam karya-karyanya. Baginya, AI itu semacam sebuah olokan pada dunia. Karena menurutnya teknologi ini tidak akan mampu memahami perasaan manusia.

Baca Juga:

Kemenkumham Siapkan Regulasi Terkait Dengan Perkembangan AI di Indonesia
Goyang Karawang dan Keajaiban Seni Lainnya di Kabupaten Karawang

Ilustrator lokal, Wastana Haikal, dilansir dari ANTARA, menyampaikan bahwa AI tidak memiliki rasa dan pengalaman seperti manusia yang kemudian dapat memengaruhi hasil output-nya. AI pun dinilai dapat melanggar etik dan aturan para seniman, karena “karya” yang dihasilkan merupakan gabungan dari karya manusia sebelumnya yang sudah ada. Ia sendiri pun tidak pernah dan berminat untuk menggunakan AI dalam karya seninya. Baginya, karya seni manusia yang autentik adalah yang terbaik, dan ia meyakini bahwa teknologi akal imitasi ini tidak akan mengambil alih fungsi manusia dalam bidang seni.

Jika kita perhatikan pun, hasil dari olah data AI dalam bentuk gambar yang menyerupai gaya seniman tertentu, tidaklah sama persis dengan karya asli seniman tersebut. Entah itu mungkin ada objek yang bengkok, asimetris, atau tulisan yang tidak jelas terbaca.

Nah, dengan hasil seperti itu pun, menurut hemat penulis jadilah masuk akal jika misal teknologi AI seperti hanya “meniru” saja dengan tanpa melibatkan unsur kompleksitas dalam seni seperti pada umumnya. Menggunakan AI untuk “meniru” karya seni ternama, seolah menjadikan proses kreatif  dan emosional dalam berkarya menjadi tidak berharga. Tentu ini menjadi sangat disayangkan jika teknologi yang canggih kemudian disalahgunakan dan hanya “bisa meniru” saja.

Batas Antara Imitasi dan inspirasi

Secara garis besar, seni bisa dimaknai sebagai bentuk dari komunikasi untuk menyampaikan sesuatu, seperti ide. Berdasarkan laporan dalam jurnal AIES ‘23, seni merupakan sebuah proses yang dipengaruhi oleh budaya dan pengalaman manusia. Dalam berkesenian, diperlukan adanya rasa peka atau sisi emosional dari seniman itu sendiri. Sehingga kemudian hal itulah yang membuat karya seni menjadi unik dan berharga.

Maka dari itu, biasanya karya seni yang dihasilkan tiap seniman bisa memiliki ciri khasnya sendiri. Karena memang setiap seniman memiliki sisi emosional, pengalaman, budaya, dan ide yang berbeda-beda untuk disampaikan dalam karyanya.

Edvard Munch, “The Scream” (1893) | National Gallery of Norway – Sumber foto: tfr.news

Sedangkan teknologi AI dalam menggenerasi gambar, hanyalah sekadar “meniru” sesuatu secara teknis saja. AI dikembangkan melalui sistem pembelajaran maupun algoritma yang membuatnya mampu menghasilkan sesuatu melalui data yang sudah ada. Nah, hasil dari output olah data tersebut lah yang sejatinya tidak memiliki sisi emosional maupun pengaruh budaya seperti manusia. AI juga tidak memiliki ide sendiri, melainkan ia seperti mesin yang menyerupai kecerdasan manusia saja.

Polemik Lisensi dan Hak Cipta Soal AI

Kemajuan teknologi ini menimbulkan tantangan baru dalam berbagai bidang, termasuk pada ranah hukum. Dalam ranah ini sendiri, hasil olah AI yang mampu menghasilkan gambar dan ilustrasi memunculkan pertanyaan terkait lisensi dan hak cipta. Seperti, output dari AI ini punya siapa? Siapa yang bisa diberikan credit atas “karya” yang dihasilkan oleh AI? Apakah si penulis prompt? Atau pemilik perusahaan AI? Atau developer sistem dan algoritma AI? Atau malah seniman yang kita jadikan referensi? Atau jika kita mengambil referensi dari gaya seniman tertentu, apakah AI sudah meminta izin pada seniman tersebut untuk diimitasi gaya karyanya?

Sejauh yang penulis telusuri, belum ada banyak regulasi yang mengatur tentang teknologi ini secara eksplisit. Kekosongan seperti ini pun kemudian menimbulkan kekhawatiran pada seniman dan kreator yang berpotensi “dicuri” data atau karyanya oleh sistem AI. Orisinalitas karya mereka pun menjadi pertanyaan, apakah betul karya tersebut milik mereka seutuhnya atau ternyata hanya karya dari AI? 

Untuk itu kemudian menjadi penting bagi pemilik karya agar mendaftarkan karya mereka supaya dilindungi oleh hukum-hukum yang ada. Walaupun begitu, masih juga kembali memunculkan pertanyaan, kalau karyanya sudah dilindungi hukum, gimana regulasinya kalau karya tersebut dipakai oleh AI? Bukankah seniman dan kreator kemudian akan berisiko mengalami kerugian jika karyanya dicuri oleh platform yang kurang memiliki hukum yang jelas?

Pertanyaan-pertanyaan ini pun lalu menjadi PR besar bagi pemangku kebijakan untuk membuatkan peraturan-peraturan yang jelas supaya tidak ada pihak yang dirugikan. Agar ke depannya tetap tercipta keseimbangan antara inovasi teknologi dan perlindungan hak cipta seniman masih terjaga dengan aman.

Etika dan Apresiasi Dunia Seni VS Teknologi

Bukan tidak memungkiri jika di masa depan teknologi akan bertambah semakin canggih dan malah mendekati sempurna. Tetapi dengan adanya potensi seperti ini, sejatinya kita masih perlu untuk mengedepankan etika dalam menggunakan AI supaya tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Apalagi jika terkait dengan dunia seni yang membutuhkan sentuhan kreasi manusia yang sepertinya juga agak-agak mustahil untuk bisa ditiru oleh mesin dan teknologi.

Ini pun menjadi tantangan bagi kita sebagai pelaku seni, supaya selagi mempertahankan ciri khas karya seni sendiri dan memperjuangkan hak untuk dilindungi, juga tetap menghargai serta beradaptasi dengan perubahan zaman supaya tidak terlalu banyak ketinggalan. Tantangan juga muncul pada masyarakat luas, supaya tidak serta merta mengandalkan teknologi saja dan tetap menghargai serta mendukung orisinalitas karya kreator dan seniman asli.

Melihat dinamika yang terjadi belakangan ini, penggunaan AI dalam seni bukan hanya soal teknologi yang mutakhir saja, melainkan juga tantangan yang ikut dibawanya. Kecanggihan teknologi memang menyenangkan dengan fiturnya yang semakin interaktif, tetapi kita masih perlu menyematkan pemikiran bahwa ini adalah alat bantu saja. Dimana alat bantu buatan manusia pun juga tidak bisa serta merta menggantikan kemampuan manusia dalam berkarya. 

Alih-alih menggunakan AI untuk meniru karya seni ternama, bukankah lebih bijak jika kita masih menggunakan kemampuan natural kita untuk berkarya dan menggunakan teknologi untuk memperkaya kreativitas saja? Tentu dengan masih tetap menjaga pentingnya menjaga penghargaan dan hak-hak karya seni asli seniman.

Baca Juga:

Show More

Related Articles

Back to top button