Selamat Datang di Indiekraf Media - Kunjungi Juga Studio Kami untuk Berkolaborasi lebih Keren :)

Menuju Indiekraf Studio
Acara KreatifAplikasi Digital dan GameIndustri KreatifInsightMbois MediaOpini Kreatif

IxDA Malang x ShopBack: Perjalanan Menjadi UX Researcher Dari Berbagai Profesi

Indiekraf.com – IxDA Malang bersama ShopBack menggelar webinar dengan tema “Shifting to UX, from Psychology and Industrial Design”. Event yang diselenggarakan pada hari Sabtu (21/08) kemarin menghadirkan Naning Utoyo
 (Research Lead at ShopBack)⁣⁣, Jasmine Wong 
(UX Researcher at ShopBack)⁣⁣, dan Amy Huang
 (UX Researcher at ShopBack).

Menjadi seorang UX researcher bisa datang dari berbagai macam latar belakang bidang pendidikan. Berdasarkan riset dari artikel ‘The Role of UX: 2020 Benchmark Study Report and Analysis’ di uxmatters.com menyatakan bahwa terdapat 5 bidang paling umum di mana responden memiliki gelar atau sertifikasi terkait erat dengan User Experience (UX), antara lain datang dari bidang design (39%), human computer interaction atau HCI (18%), user experience (14%), psychology (12%), dan computer science (14%).

Riset tersebut juga diperkuat dengan hasil report dari Nielsen Norman Group. Melalui dokumen report yang berjudul ‘User Experience Careers What a Career in UX Looks Like Today’, 23% dari 61 UX researcher menyatakan bahwa mereka datang dari latar belakang pendidikan di bidang psikologi. Sedangkan yang lainnya memiliki bidang di cognitive science, communications, computer science, bahasa Inggris, sejarah, informatika, media, dan termasuk beberapa bidang desain seperti industrial design.

Melihat hasil riset diatas, IxDA Malang bersama ShopBack mencoba untuk menjelaskan lebih dalam mengenai bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Dalam acara ini, Naning, Jasmine, dan Amy menceritakan pengalaman perjalanan mereka untuk bisa menjadi seorang UX researcher dari latar belakang pendidikan yang berbeda-beda.

Berangkat Dari Psikologi Menjadi UX Researcher

Sebelum berkarir menjadi seorang UX researcher di ShopBack, Jasmine memiliki pengalaman bekerja di sebuah lab research yang cenderung melakukan penelitian ke arah akademik, bahkan terkadang lebih ke masalah teknis. Saat bekerja menjadi psychology researcher, Jasmine kerap terlibat dalam proyek penelitian yang memiliki jangka waktu lebih lama, mulai dari hitungan bulan, hingga bisa lebih dari setahun. Ini jelas berbeda dengan yang dilakukannya sekarang di ShopBack.

Ketika shifting dari psikologi menjadi UX researcher, ada satu hal yang sangat dirasakan Jasmine berbeda, yaitu waktu penelitian yang bisa dibilang sangat singkat. Ketika menjadi UX Researcher, durasi penelitian yang Ia lakukan bisa dalam hitungan minggu (sekitar 1-2 minggu) atau tergantung dari jenis penelitian yang dilakukan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan ekosistem antara bekerja di sebuah instansi pendidikan seperti universitas dan startup.

Jika kamu bekerja di startup, kamu mungkin tidak akan memiliki ‘privilege’ waktu untuk melakukan riset dengan durasi yang lama. Sebagai UX researcher di startup, Jasmine harus beradaptasi dengan siklus pengembangan produk digital yang serba cepat. Ini mungkin akan melibatkan bagaimana cara kita menyampaikan hasil penelitian sebelum tahap sprint, atau memodifikasi metodologi penelitian, sehingga proses penelitian dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat.

Namun, ketika bekerja sebagai psychology researcher di sebuah instansi pendidikan, desain atau metode penelitian yang dirancang harus sesuai standar ilmiah, valid, dan terpercaya. Oleh karena itu, untuk memastikan penelitian yang dilakukan telah memenuhi standar tersebut, diperlukan waktu yang lebih lama untuk perencanaan dan analisis data dalam melakukan penelitian, mungkin bisa sampai berbulan-bulan.

Akan tetapi, Jasmine juga menemukan banyak kesamaan antara profesi sebagai psychology researcher di bidang psikologi dan UX researcher, salah satunya adalah sama-sama mempelajari tentang pikiran dan perilaku manusia. Metode pengumpulan yang digunakan dalam penelitian di kedua profesi tersebut juga mirip, bisa melalui kuesioner, survei, wawancara, pemberian task atau tugas, dan observasi. Hal tersebut sangat membantu dirinya untuk beradaptasi saat menjadi seorang UX researcher.

Dari Industrial Design Menjadi UX Researcher

Berprofesi sebagai seorang UX researcher dari background industrial design menjadi tantangan tersendiri bagi Amy Huang. Ia menjelaskan bahwa pengalamannya menjadi industrial design memiliki fokus mempelajari tentang solusi kreatif untuk menentukan dan mendefinisikan bentuk dan fitur produk yang akan diproduksi oleh perusahaan secara massal.

Namun ternyata, Amy menjelaskan bahwa masih ada keterkaitan erat antara industrial design dengan UX researcher. Contohnya adalah kedua profesi tersebut mengharuskan untuk membuat prototype. Bedanya, jika di industrial design, Amy membuat prototype tentang alat yang akan diproduksi, sedangkan pada UX researcher lebih membuat prototype tentang produk digital.

Selain itu, kedua profesi tersebut juga sama-sama membutuhkan referensi mengenai calon pengguna mereka. Amy menjelaskan, mungkin yang sedikit membedakan adalah ketika di industrial design, salah satu fokusnya adalah mempelajari tentang ‘fisik’ dari calon penggunanya, seperti ukuran tangan, kaki, dan segala macam informasi agar produk yang dibuat bisa menjadi lebih ergonomis dan nyaman untuk digunakan.

Pada acara tersebut, Amy juga menceritakan bahwa perusahaan manufaktur membutuhkan kesempurnaan. Tanpa kesempurnaan, produk atau alat yang diproduksi tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Perlu riset dan penelitian yang mendalam sebelum produk tersebut diproduksi secara massal. Karena proses dalam perusahaan manufaktur membuat iterasi lebih mahal. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa semua harus ‘sempurna’.

Hal tersebut mungkin tidak dapat kita temukan jika bekerja di industri teknologi. Amy menjelaskan bahwa saat dirinya bekerja sebagai UX researcher di ShopBack, Ia mendapatkan kesempatan untuk terus berusaha meningkatkan produk berdasarkan feedback dari user, karena memang pada dasarnya, sebuah produk digital bisa terus dioptimasi setiap waktu. Di ShopBack, Amy juga mendapatkan kesempatan untuk gagal dan berkembang dengan terus belajar dari kesalahan, dimana kesempatan tersebut tidak bisa didapatkan ketika Ia menjadi seorang industrial design.

Referensi Untuk Belajar Tentang UX Research

Memasuki era serba digital seperti sekarang, topik yang membahas mengenai User Experience (UX) sudah semakin mudah untuk didapatkan dan dipelajari. Selain melalui pendidikan formal di kuliah, kamu bisa mempelajari topik tersebut dari berbagai sumber seperti kursus online/offline, seminar, buku, YouTube, atau bergabung dengan komunitas.

Jika kamu suka belajar melalui membaca, Amy menyarankan beberapa buku yang bisa kamu baca, antara lain adalah 101 Design Methods karya Vijay Kumar, The Field study Handbook karya Jan Chipchase, Business Model Generation karya Alexander Osterwalder  & Yves Pigneur, dan Designing Your Life: How to Build a Well-Lived, Joyful Life karya Bill Burnett & Dave Evans.

Kamu juga bisa belajar dengan mengikuti berbagai macam kursus atau program pelatihan seputar UX yang ada. Contohnya, jika di dalam negeri, kamu bisa mengunjungi website seperti binaracademy.com, uxindo.com, atau somia.academy. Sedangkan untuk luar negeri, kamu bisa mengunjungi website seperti skillsunion.com, generalassemb.ly, hyperisland.com, dan masih banyak lagi.

 

Penulis: Achmad Faridul Himam, Naning Utoyo, Jasmine Wong, Amy Huang

Baca juga

9 Tahun Berkarier Sebagai UX Researcher, Ini Pesan Naning Utoyo Kepada Fresh Graduate Jika Ingin Berkarir di Luar Negeri
Internship vs Sertifikasi, Mana yang Lebih Penting? Ini Jawaban Naning Utoyo
5 Rekomendasi Buku Untuk UX Designer & UX Researcher

Referensi

[1] The Role of UX: 2020 Benchmark Study Report and Analysis
[2] Nielsen Norman Group: User Experience Careers What a Career in UX Looks Like Today 2nd Edition by Maria Rosala and Rachel Krause

Show More

Related Articles