Indiekraf.com-Sebanyak kurang lebih 30 wanita berdandan cantik dengan menggunakan kebaya lengkap dan bersanggul mendatangi Kampung Budaya Polowijen sabtu(10/04) kemarin. Kedatangan mereka kali ini untuk menghadiri acara tradisi Megengan Mapag Wulan Poso yang diselenggarakan oleh para pengurus di Kampung Budaya Polowijen.
Penggagas Kampung Budaya Polowijen, Isa Wahyudi, mengatakan bahwa para wanita itu berasal dari Komunitas Sanggul Nusantara chapter Malang dan Surabaya yang awalnya sengaja datang hanya untuk melakukan studi budaya. Namun karena bertepatan memasuki bulan puasa akhirnyadilakukan acara Megengan ini.
“Kebetulan pas dengan Mapag Wulan Poso, maka acara megengan ini sekalian kita selenggarakan,” kata Isa Wahyudi.
Acara ini merupakan kegiatan rutin yang biasanya dilakukan setiap tahunnya dalamrangka menyambut bulan suci Ramadan, sekaligus silahturahmi pada warga masyarakat agar tercipta lingkungan kampung yang damai,aman dan tetap menghargai budaya.
Baca juga :
“Megengan dilaksanakan dalam rangka mempersiapkan diri dan melakukan pensucian agar siap menyambut bulan puasa. Sebelum masuk bulan puasa, setidak-tidaknya orang sudah berserah dan mawas diri siap untuk melaksanakan ibadah puasa,” beber Ki Demang sapaan akrab Isa.
Budaya Megengan
Secara historis kata Ki Demang, Ritual Megengan merupakan akulturasi budaya kearifan lokal dan Islam. Ritual Megengan berakar dari tradisi Ruwah yakni merupakan ritual mendoakan roh-roh nenek moyang.
“Megengan itu sebenarnya tradisi yang dibuat oleh Sunan Kalijaga dalam rangka mengubah Ruwahan yang dulu adalah merawat roh tetapi kemudian dibuat dalam rangka saling memaafkan menjelang ibadah puasa,” kata Ki Demang.
Kue Apem
Kue Apem memiliki makna yang cukup dalam yakni saling memaafkan dan meminta maaf kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab kata Ki Demang secara harfiah Apem berakar dari bahasa Arab yaitu Afuwwun Karim yang memiliki arti Tuhan Dzat Yang Maha Pemaaf.
Baca juga :
“Apem itu berasal dari kata Afuwwun Karim. Makna simbolisnya adalah mintaa maaf,” ujarnya.
Lebih lanjut kata Ki Demang, kue Apem yang diolah, bentuknya dibuat mengerucut layaknya segitiga. Bentuk segitiga menggambarkan trilogi kehidupan yaitu Tuhan, alam dan manusia.
“Selepas ritual ini setidaknya orang sudah berserah diri, sudah mawas diri dan siap untuk melaksanakan ibadah puasa,” pungkas Ki Demang.